Serba-Serbi Menulis : Vakum Menulis (End)
Memasuki masa putih abu-abu, namaku mulai tenggelam di dunia tulis menulis. Berbagai nama penulis anak-remaja baru mulai bermunculan. Persaingan semakin sulit sementara peluang semakin sedikit. Penerbit yang menerbitkan buku pertamaku tak bisa bersaing. Buku-bukuku yang tersisa dijual dengan sangat murah setelah sempat cetak ulang sebelumnya. Rasanya campur aduk. Tapi mau bagaimana lagi? Ya sudahlah...
Entah apa sebabnya, mungkin kian merebaknya e-book, penerbit indie, wattpad dan sebagainya. Aku pun mulai mundur dari dunia penerbitan. Sebenarnya rindu dan awalnya sempat tertarik dengan penerbit indie. Tapi saat itu penerbit indie tak seramai sekarang, jadi aku masih ragu. Akhirnya, aku melampiaskan hanya dengan bergabung di ekskul majalah sekolah. Banting setir dari menulis cerita fiksi menjadi menulis artikel dan berita.
Masa SMA-ku kuhabiskan dengan majalah sekolah. 2 tahun mendapat amanah menjadi redaktur pelaksana majalah cukup menyita waktuku. Tapi aku bersyukur, ilmuku semakin bertambah. Aku jadi mengerti bagaimana proses pembuatan majalah mulai dari menentukan tema, konten, desain layout, naik cetak hingga sortir majalah yang cacat. Tahu bagaimana rasanya harus lembur hingga malam di sekolah karena deadline yang kian mendekat. Di tahun terakhirku SMA, aku sadar, aku tidak berkontribusi banyak pada sekolah. Sehingga aku mempunyai mempersembahkan karya terakhir untuk sekolah. Aku mengajak teman-teman majalah (atau yang biasa disebut K-Team) menulis cerpen. Ya, kami ingin mempersembahkan buku antologi sebagai kenang-kenangan terakhir.
Aku mulai mempelajari penerbitan indie. Termasuk belajar editing dan layout buku. Aku menjatuhkan pilihanku di nulisbuku.com karena tanpa biaya. Semua pengerjaan isi buku dilakukan oleh penulis. Termasuk promosi buku. Bukuku tak akan ada di toko buku. Hal ini memang sempat jadi pertimbanganku. Lagi-lagi aku harus kembali ke niat awalku menulis buku. Ingin berkarya atau mencari penghasilan? Karena aku sadar aku cukup lemah dalam pemasaran. Tentu saja royalti yang akan aku dapat tak selancar 3 bukuku sebelumnya. Tapi papa bilang "Royalti itu bonus. Yang terpenting adalah karya."
Entah apa sebabnya, mungkin kian merebaknya e-book, penerbit indie, wattpad dan sebagainya. Aku pun mulai mundur dari dunia penerbitan. Sebenarnya rindu dan awalnya sempat tertarik dengan penerbit indie. Tapi saat itu penerbit indie tak seramai sekarang, jadi aku masih ragu. Akhirnya, aku melampiaskan hanya dengan bergabung di ekskul majalah sekolah. Banting setir dari menulis cerita fiksi menjadi menulis artikel dan berita.
Masa SMA-ku kuhabiskan dengan majalah sekolah. 2 tahun mendapat amanah menjadi redaktur pelaksana majalah cukup menyita waktuku. Tapi aku bersyukur, ilmuku semakin bertambah. Aku jadi mengerti bagaimana proses pembuatan majalah mulai dari menentukan tema, konten, desain layout, naik cetak hingga sortir majalah yang cacat. Tahu bagaimana rasanya harus lembur hingga malam di sekolah karena deadline yang kian mendekat. Di tahun terakhirku SMA, aku sadar, aku tidak berkontribusi banyak pada sekolah. Sehingga aku mempunyai mempersembahkan karya terakhir untuk sekolah. Aku mengajak teman-teman majalah (atau yang biasa disebut K-Team) menulis cerpen. Ya, kami ingin mempersembahkan buku antologi sebagai kenang-kenangan terakhir.
Aku mulai mempelajari penerbitan indie. Termasuk belajar editing dan layout buku. Aku menjatuhkan pilihanku di nulisbuku.com karena tanpa biaya. Semua pengerjaan isi buku dilakukan oleh penulis. Termasuk promosi buku. Bukuku tak akan ada di toko buku. Hal ini memang sempat jadi pertimbanganku. Lagi-lagi aku harus kembali ke niat awalku menulis buku. Ingin berkarya atau mencari penghasilan? Karena aku sadar aku cukup lemah dalam pemasaran. Tentu saja royalti yang akan aku dapat tak selancar 3 bukuku sebelumnya. Tapi papa bilang "Royalti itu bonus. Yang terpenting adalah karya."