Minggu, 17 Mei 2015

Ada sebuah rumah tua di kawasan tempat tinggalku. Rumah itu sangat besar masih berdiri dengan kokoh hanya dengan pondasi batu-bata yang belum usai dibangun. Sayangnya, oleh pemilik rumah itu, pembangunan rumah tidak lanjutkan. Aku pernah menjelajahi isi dalam rumah setengah jadi itu, sepertinya tampak sangat nyaman sayangnya saja rumah itu nampak horror. Aku tidak tahu benar asal usul rumah itu. Tetapi aku pernah mendapat cerita dari tetanggaku yang sudah menempati kawasan tempat tinggalku ini. Dan letak rumahnya tepat persis berada di depan rumah yang katanya horror itu.
            Sore itu, aku, kakak, teman dan tetanggaku tersebut sedang duduk-duduk di pelataran rumahnya. Bercanda, bermain, dan saling berbagi cerita.
            “Mas, cerita-cerita dong,” pintaku pada tetanggaku.
            “Cerita apa?” tanya tetanggaku yang bernama Mas Chandra itu.
            “Cerita pengalaman kek, gosip kek, apalah yang seru gitu,” kata Ella, temanku.
            “Dasar ratu gosip,” ledekku.
            “Yee, biarin. Daripada cerita yang enggak mutu,” Ella menjulurkan lidahnya.
            “Emangnya gosip itu mutu? Kalau berita terbaru, akurat dan teraktual itu sih memang mutu.”
            “Menurutku mutu aja sih. Menambah pengetahuan. Kayak berita Eyang Subur itu. Keren kan?” Ella mengedipkan sebelah matanya.
            “Huuu, dasar muridnya Eyang Subur,” ledekku.
            “Kamu aja kali Li, yang muridnya Eyang Subur,” balas Ella.
            “Kamu!” balasku lagi.
            “Sudah, sudah. Sesama murid Eyang Subur tidak boleh saling mendahului,” ujar kakaku tiba-tiba diiringi tawa Mas Chandra.
            “Yee, sorry ya. Aku bukan muridnya eyang subur. Ella tuh yang muridnya eyang subur, tiap hari ngomongin eyang subur,” celotehku panjang lebar.
            “Sudah, enggak usah berdebat terus. Sekarang kalian maunya cerita apa?” tanya Mas Chandra.
            “Terserah. Horor juga boleh,” tantangku.
            “Yee, emang kamu berani? Paling-paling nanti juga merinding,” ledek kakakku.
            “Hehehe. Ya lihat aja nanti,” jawabku cuek.
            “Yaudah, aku cerita horror saja.  Kamu tahu gak, sebenernya rumah itu dulunya bagus?” tanya Mas Chandra sambil menunjuk rumah tua yang dimaksud.
            “Yang bener? Kok sekarang kayak nggak keurus gitu,” celotehku.
            “Iya. Orangnya yang punya rumah enggak tahu kemana. Tapi dulu rumah itu punya cerita.”
            “Cerita apa?” tanya kakakku penasaran.
            “Dulu penghuni rumah itu seorang wanita muda.
            “Hiii…,” aku bergidik ngeri.
            “Yee, belum apa-apa udah ketakutan,” ledek kakakku.
Aku hanya tersenyum masam.
            “Sudah ah, lanjutin Mas!” pintaku sok berani.
Kami pun menyimak lagi cerita Mas Chandra yang belum selesai.
            “Nah, wanita mudanya itu frustasi entah kenapa. Kayaknya sih ditinggal pacarnya. Terus dia gantung diri di sumur yang ada di dalam rumah itu. Malam itu aku mendengarnya menangis tersedu-sedu, saat tengah malam suara itu sudah tidak ada dan aku melihat dari balik jendela, ada tali putus di sumur itu.”
            “Gimana caranya gantung diri?” tanya Ella.
            “Ya paling-paling kayak yang ada di film Horor yang biasa kau tonton di TV. Talinya digantungkan di langit-langit. Terus wanita itu berdiri di mulut mulut sumur. Mungkin dia terpeleset, tidak sengaja ketarik dengan talinya itu,” khayalku.
            “Yee, kalau kamu mah kebanyakan nonton TV dan berkhayal. Enggak tahu gimana caranya gantung diri, yang jelas dia gantung diri dan mati malam itu juga,” kata Mas Chandra.
            “Kasihan sekali perjalanan hidupnya para pemirsa. Hanya karena ditinggal sang pacar ia memilih mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis yaitu gantung diri di sumur. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya. Amin,” kata Ella sok jadi presenter.
            “Ih, Ella pasti takut tuh, makanya sok-sok jadi presenter. Iya kan?” tanya kakakku.
            “Iya, hehehe,” Ella tersenyum masam.
            “Mau dilanjutin nggak nih, ceritanya? Kok kayaknya pada takut gitu” tanya Mas Chandra.
            “Mauu mauu mauu,” ujar kami serempak.
Saat akan melanjutkan cerita, tiba-tiba terdengar suara dari rumah tua itu.
KRIIIEEEKK… BUUUUMMM!!!
            “Aaaaaaaaaaaaa,” teriak kami sekencang-kencangnya. Aku bersiap-siap untuk berlari sekuat tenaga.
            “Enggak usah takut. Mungkin itu suara kayu yang rapuh. Maklum saja, rumah itu sudah tua,” ujar Mas Chandra menenangkan kami semua.
            “Sudah deh, selesai ceritanya. Wanita muda yang punya rumah marah tuh, kalau nanti malam aku tak bisa tidur gimana?” Ella parno.
            “Tenang saja, semuanya bakal aman kok.”
            “Nah, sampai mana tadi?” tanya Mas Chandra.
            “Sampai yang gantung diri itu,” kakakku memberi petunjuk.
            “Oh iya. Nah, beberapa hari kemudian. Tiap malam aku dan kakakku melihat dari balik jendela wanita itu ada lagi! Dia sedang menyisir rambutnya yang panjang dengan sisir warna merah. Paginya sisir itu ada di kursi teras rumahku. Dan setiap kakakku kembalikan sisirnya ke pelataran rumah tua itu, malamnya sisir itu ia gunakan menyisir lagi dan paginya ada di kursi lagi,” Mas Chandra melanjutkan cerita.
            “Hiii… pasti seram emangnya Mas Chandra gak takut?” tanya Ella.
            “Waktu itu kan aku masih berumur seperti kalian sekarang. Tentunya takut dong. Tapi untungnya ada kakakku yang membuatku tidak terlalu merasa takut lagi.”
            “Apa tiap pagi sisir itu ada di kursi teras rumah Mas Chandra? Tanyaku.
            “Iya. Tapi untungnya tidak berlangsung lama. Seminggu kemudian kejadian itu tidak terjadi lagi.”
            “Huft, syukurlah. Kalau kejadian itu terus-terusan terjadi pasti menyeramkan sekali,” aku bergidik ngeri.
            “Tentunya. Apalagi itu benar-benar terjadi,” celetuk Mas Chandra.
            “Eh satu lagi kalian tahu enggak?” lanjutnya.
            “Apa?” tanya Ella penasaran.
            “Enggak lama dari kejadian rumah tua itu, lumayan sering ada penampakan di sekitar sini lho. Apalagi kawasan perumahan ini dulu bekas makam.”
            “HWAAAAAA!!!” kami menjerit lagi. Bahkan Ella sampai menangis saking takutnya.
            “Eh eh, jangan takut begitu. Ella gak usah nangis. Itu kan dulu. Sekarang makamnya sudah dipindah,” kakakku menenangkan kami. Tumben sekali dia menjadi bijak seperti itu,pikirku.
            “Hmm, tapi, ada satu yang menurutku ganjal. Bagaimana caranya memindah makam orang satu per satu?” tanyaku penasaran.
            “Mungkin saja hanya batu Nissan-nya yang dipindah. Kan jasadnya sudah hancur dalam tanah,” ujar kakakku.
            “Yah, mungkin saja begitu. Aku sendiri juga kurang mengerti soal memindahkan makam itu. Yang jelas sering ada kabar-kabar bahwa banyak penduduk yang melihat penampakan. Contohnya, kalian tahu penjual nasi goreng yang ada di depan gapura itu kan?” kata Mas Chandra.
            “Iya iya, tahu. Mas Roni itu kan?”
            “Yup! Dulu kan Mas Roni selalu menjajakan nasi gorengnya keliling perumahan. Sekarang kan sudah tidak lagi. Kalian tahu kenapa?” ujar Mas Chandra membuat kami semakin penasaran dan masuk ke dalam ceritanya.
            “Bosan mungkin,” celetuk Ella yang sudah mulai tenang.
            “Bukan itu! Kata Mas Roni waktu itu, ketika Mas Roni menjajakan jualannya pukul sembilan malam, dia melihat ada anak kecil bermain kelereng di sebelah rumahnya Lili lho,” cerita Mas Chandra.
            “Ha? Sebelah rumah? Gang buntu itu Mas?” aku menganga tak percaya.
            “Ah yang benar saja? Padahal kan di rumahku sudah ada penangkal hantu dan sejenisnya. Enggak hanya hantu aja, kucing, tikus, ular, dan hampir semua hewan takut,” celoteh kakakku.
            “Ha? Beneran Kak? Apa penangkalnya? Kasih tahu dong,” pinta Ella.
            “Tuh si Lili,” jawab kakakku ringan.
            “Hei?! Enak saja bilang aku penangkalnya. Wajahku kan enggak menyeramkan. Malahan menggemaskan,” aku memasang wajah sok imut.
            “Ihh, sok imut. Gak pantes kau. Karena kamu emang enggak imut. Yang imut itu aku,” Ella menjulurkan lidah.
            “Whatever!” jawabku tak mau ambil pusing.
            “Iya gang buntu sebelah rumahmu itu Li. Kata Mas Roni, sewaktu dia berbalik untuk melihat anak laki-laki itu dengan jelas, tapi anak laki-laki itu tidak ada! Hasilnya Nihil tak ada siapa-siapa!” seru Mas Chandra.
            “Hiii…,” kami bergidik ngeri.
            “Pernah juga kok ada yang kerasukan gara-gara melamun dekat rumah tua itu,” lanjutnya.
            “Hmm, pantas saja kakakku tak mau kuajak keluar malam,” ujar Ella.
            “Kenapa El?” aku mengernyitkan dahi.
            “Jalan untuk keluar gapura kan hanya ada dua jalan. Kalau memilih memutar lewat deretan depan pasti lebih lama. Kalau minta cepat harus lewat rumah tua itu, kalau malam penerangan jalannya juga kurang,” cerita Ella.
            “Oh begitu, kalau terpaksa keluar malam gimana?” Mas Chandra melontarkan pertanyaan.
            “Yaa, mau enggak mau dengan segenap jiwa dan raga harus melewati rumah tua,” Ella tertunduk lesu.

Hari mulai gelap. Sinar mentari kian meredup. Sayup-sayup adzan Magrib berkumandang. Kami memutuskan untuk bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Cerita Mas Chandra tentang rumah tua itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Seram juga, tapi aku tak mau terus-terusan memikirnya. Tidak baik jika nantinya aku terlalu negative thinking. Cerita Mas Chandra sore tadi akan kujadikan sebuah pengalaman dan pengetahuan agar aku lebih waspada untuk tidak sering melamun. Hehehe J

Jurnal Alin . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates