Kamis, 08 Oktober 2020
Rabu, 07 Oktober 2020
#30 Days Writing Challenge : Day 25 (Tamtam dan Manap)
Day 25: Something inspired of the 11th image on your phone
YaAllah, ini tema challenge makin lama kenapa makin random aja yak wkwk. Aku nggak hobi foto atau selfie, isi galeri hp-ku kebanyakan foto kucing atau nggak screenshot dan foto dari chat whatsapp. Kebetulan sekali foto ke-11 di hp-ku adalah foto kucing.
Mereka adalah salah dua dari 3 kucing yang masih bertahan di rumah. Namanya Tamtam dan Manap. Kayak kembar ya, tapi mereka lahir di bulan yang berbeda. Anggap saja kakak adik. Tubuhnya tentu saja lebih besar Tamtam. Yang bisa duduk itu Tamtam. Oh ya, ada kisah menarik di balik nama Manap. Nama lengkapnya Dul Manap. Papa yang kasih nama. Papa kalau ngasih nama kucing memang gapernah ada yang bener. Nama Dul Manap udah kayak nama kepala sekolah wkwk. Alasannya simpel, karena sepertinya ia jantan. Tapi ternyata setelah beberapa bulan dan tumbuh dewasa, baru diketahui bahwa jenis kelamin Manap yaitu betina haha. Tapi sudah terlanjur namanya seperti itu ya sudahlah. Toh ia juga sudah terbiasa dipanggil Manap.
Kemiripan Tamtam dan Manap terkadang membuatku susah membedakan mereka jika mereka sedang tidak bersama. Kalau mereka bersebelahan tidak susah kok membedakannya. Tamtam badannya gede banget. Saking gedenya ia jadi bisa duduk jika sedang ingin menjilati tubuh bagian belakangnya. Kalau kata kakakku sih karena kegedean perut dan pantat, jadinya kayak keganjel gitu haha. Oh ya, papa pernah mengukur panjang badan plus ekor Tamtam. Tercatat 94 cm. Lebih dari setengah tinggi badanku. Hobinya makan dan main, kadang suka nggak sadar diri juga dengan badannya yang gede. Ia sering memaksakan diri masuk ke dalam kardus kecil atau tidur di antara kardus dan tangga yang terletak di gudang. Tak apalah, kucing kan makhluk cair.
Ia juga senang sekali masuk kamar mandi dan berdiri di tepi bak mandi. Jika ada orang yang mau ke kamar mandi ia selalu membuntuti. Entah ngapain, kecebur bak mandi baru tau rasa dah wkwk. Hal yang paling menyeramkan dari memelihara kucing yaitu saat memandikannya. Tidak ada satu pun kucing di rumahku yang doyan mandi. Wah seramnya minta ampun. Coco contohnya. Nggak ada yang berani mandiin dia. Entah sudah berapa bulan atau bahkan tahun dia nggak mandi. Tamtam juga begitu. Besarnya tubuh dia membuat dia susah dimandiin. Gede banget woy wkwk. Banyak gerak pula. Kan ribet yak.
Meski begitu, kucing-kucingku adalah tipe kucing yang manja. Terlalu dimanja dan disayang sama budaknya sih wkwk. Nama kucing jantan yang disematkan padanya, berharap ia jadi kelihatan lebih macho terasa sia-sia. Sama orang asing dan kucing liar aja takut, gimana mau jadi jagoan. Tapi tak apa, karena bagaimanapun sifat dia kami sekeluarga tetaplah budak sejatinya. Yup, kami budak kucing.
Selasa, 06 Oktober 2020
#30 Days Writing Challenge : Day 24 (Ikhlas)
Day 24: Write about a lesson you've learned
sumber: unsplash |
"Ikhlas itu apa? Ikhlas itu kayak gimana?" pertanyaan itu menjadi pertanyaan terbesar dalam hidupku beberapa tahun silam. Ada yang bilang, definisi ikhlas itu dari hati bukan dari lisan. Hanya hati kita sendiri yang tahu bagaimana rasa ikhlas itu. Aku nggak tahu, apakah aku bisa ikhlas. Aku tipe orang yang susah sekali mendeskripsikan apa yang kurasa. Rasanya seperti orang yang mati rasa. Harusnya tulisan ini menceritakan tentang suatu pelajaran yang sudah kupelajari. Tapi, ikhlas ini masih kupelajari hingga detik ini.
Aku bisa saja lupa, tapi jika suatu saat teringat lagi, aku masih bisa merasakan dengan jelas apa yang kurasa saat mengalami peristiwa apapun itu. Apakah itu ikhlas? Aku tak yakin. Ikhlas menjadi pelajaran dan ujian hidup yang sepertinya tak pernah berhasil kulalui. Aku tak lulus dalam ujian ikhlas. Apalagi jika kupikir-pikir, ikhlas ini banyak konteksnya, ujian ikhlas bermacam-macam jenisnya. Aku mungkin bisa ikhlas di satu hal, tapi susah di lain hal. Menjadi beban di pikiran selama bertahun-tahun dan buruknya merubah prinsip dan tujuan hidupku.
Tiap kali aku berada di titik terbawah, papa selalu memberiku wejangan untuk sabar dan ikhlas. Dan aku selalu menghela napas panjang setiap kali mendengar perintah untuk ikhlas. Rasanya seperti tak ada habisnya ujian ikhlas ini. Baru saja selesai ujian ikhlas yang kemarin sudah harus ujian ikhlas yang lain. Tapi papa selalu bilang, namanya naik kelas pasti ujiannya lebih susah. Mana ada soal ujian kelas 5 lebih mudah dari soal ujian kelas 4. Hmm benar juga sih.
Ikhlas menjadi pelajaran tersulit semenjak aku mengetahui kerasnya kehidupan dan rahasia takdir. Aku dulunya orang yang sangat idealis dan keras kepala, hingga akhirnya kenyataan memutar balikkan hidupku. Lambat laun, aku belajar untuk menjadi orang yang realistis dan pasrah pada takdir. Sekeras apapun kita berusaha, jika bukan takdirnya kita bisa apa :) Aku tahu, ikhlas adalah kunci dari segalanya. Dan aku juga tahu, itu akan menjadi pelajaran dan PR terbesar untukku entah sampai kapan. Kalau menurutmu, ikhlas itu apa?
Minggu, 04 Oktober 2020
#30 Days Writing Challenge : Day 23 (Hai)
Day 23: A letter to someone, anyone
Disclaimer: Aku tak berniat menulis ini, biarkan jemariku yang mengikuti kata hati. Sebenarnya aku sedang malas mendengarkan kata hati saat ini. Aku tak tahu bagaimana awal dan akhir dari surat ini nantinya. Aku harap kamu dan kalian tak akan terkejut.
sumber: unsplash |
Hai, siapapun kamu, pernahkah kamu merindukan seseorang hingga terasa sesak? Rasanya ingin menangis? Atau bahkan bantal di kamarmu sudah mulai basah? Jika pernah atau mungkin saat ini sedang merasakannya, mari merapat bersamaku. Aku ingin bercerita tentang seseorang yang membuat hari-hariku tak karuan beberapa minggu terakhir. Aku sebenarnya tak yakin ingin menceritakannya. Tapi sudah setengah jam aku menulis topik hari ini yang selalu berakhir dengan menekan tombol delete setelah satu paragraf. Jika akhirnya ia membaca ini dan marah padaku, tak apa. Aku sudah siap. Sangat siap :)
Sebut saja ia manusia "Mediator". Manusia "Mediator" itu unik dan beda meskipun di saat seperti sekarang ini menjadi manusia paling asing bagiku. Aku seperti tak pernah mengenalnya. Ya, saat moodnya berada di bawah. Padahal hampir setengah tahun sudah aku mengenalnya lebih dekat, walau aku tak pernah merasa sedekat itu. Dia terlalu misterius. Aku bingung, tak tahu harus berbuat apa jika sudah begini. Berasa jadi Raisa. Serba salah. Meskipun kayaknya "Mbak Yaya" nggak pernah salah sih. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa jika komunikasi sudah berjalan satu arah. Daripada aku membuang air mataku lagi, biarkan air mata itu berubah menjadi sebuah tulisan saja. Iya kan?
Pernahkah kamu capek merindukan seseorang? Capek rindu karena tak bisa berbuat apa-apa gara-gara keadaan. Itulah aku saat ini. Aku tak mungkin menanyakan sebuah pertanyaan seperti di awal tulisan jika itu bukan diriku. Aku memang merindukan manusia "Mediator" itu. Tapi aku juga capek merindukannya. Jika aku bisa mengatur isi hati, ingin rasanya sekali saja menghilangkan rasa itu. Namun tak bisa. Terlebih akhir-akhir ini ia mulai mengacaukan hari-hariku lewat sebuah bunga tidur. Konyol memang. Tapi untuk manusia seperti diriku, mimpi itu damage-nya luar biasa. Mimpi satu malam bisa memengaruhi mood dan kondisi hati keeseokan harinya, sehari penuh. Udah berapa kali mimpi? Seingatku sudah 4 kali meski tidak setiap hari tapi di waktu yang berdekatan, terakhir kali yaitu tadi malam. Meskipun berakhir mimpi buruk sih wkwk.
Jangan coba kau cari tahu siapa manusia "Mediator" itu. Sebab, ia tak akan mau berkenalan denganmu. Jika kau menemukannya, akulah taruhannya. Ia sangat misterius, dan tetap ingin menjadi sosok misterius. Jika kau tanya mengapa harus dia, kini aku sudah punya jawabannya. Setelah 3 bulan pencarian jawaban yang logis. Ia berbeda. Pokoknya beda. Bukan karena sekadar rasa nyaman seperti alasan kebanyakan orang. Tai kucing lah sama nyaman. Nyaman itu jebakan sebelum ada kepastian. Jikalau aku beralasan karena nyaman, aku nggak munafik kalau aku juga pernah merasa nyaman dengan manusia lain. Tapi bukan itu. Ia membuatku merasa lebih dari sekadar rasa nyaman. Tapi juga aman, tenang dan lega. Dan itu tak pernah kutemukan pada manusia lain. Hanya pada manusia "Mediator" satu ini. Manusia lain hanya memberikan rasa senang tapi tidak dengan ketenangan. Itulah hebatnya dia. Dengan segala sifat tenang dan sikap bijaksananya (aku tahu, ia pasti selalu kesal jika aku menyebutnya sosok yang bijak), ia mampu meredam sifatku yang berapi-api, menggebu-gebu; meredam emosi dan menurunkan egoku.
Manusia "Mediator" ini memang aneh. Terkadang rumit dan terlalu tertutup, seringnya sih menyebalkan. Tapi aku selalu suka dan kagum dengan sifat-sifatnya yang lainnya. Aneh kan? Aku bersyukur semesta telah membiarkan ia masuk ke dalam kehidupanku yang rumit. Aku tak pernah menyesali itu (sepertinya sih dia yang menyesal wkwk). Karena apapun dan siapapun yang semesta hadirkan dalam hidupku kuyakin membawa pesan dan pelajaran untukku. Dan teruntuk semesta, kapankah 'indah pada waktunya' itu tiba?
-Ankara, Oktober 2020-