Rabu, 30 September 2020

Day 19: My first love

ilustrasi cinta pertama

Ketika perempuan berkumpul bersama teman-temannya, mustahil jika tidak membicarakan sesuatu. Mulai dari topik obrolan tentang sehari-hari, diskusi berat, menanyakan hal-hal yang tidak penting, ngobrolin hal receh, julidin tingkah orang di sosial media, sampai nostalgia masa lalu yang biasanya terbalut dalam permainan Truth or Dare? Benar tidak? :v

Seperti yang kualami beberapa bulan lalu, teman-temanku mengajak bermain permainan lucknut itu seusai menyantap makan malam. Ya, makan malam bersama mereka selalu menjadi waktu makan malam terlama karena akan selalu ada obrolan setelahnya.

"Main ToD yuk," ujar salah seorang teman sebut saja Amel sambil memainkan botol plastiknya yang sudah kosong. Yang lain hanya menanggapi singkat, masih tertuju pada layar gawainya masing-masing, termasuk aku.

"Yuk, boleh," jawabku yang tidak memikirkan bahwa permainan itu selalu berujung pada hal-hal yang sulit dilakukan atau dikatakan. Teman-teman lain pun menyanggupi. Kami memulai ronde pertama. Amel memutar botol kosong miliknya di lantai. Sial, botol itu mengarah padaku. Andai aku tidak mengiyakan ajakannya tadi, kemungkinan ini tak akan terjadi. Sialnya lagi, semua orang yang terlibat dalam permainan itu memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan atau tantangan.

Dare selalu terlihat menyeramkan, apalagi jika sudah bermain bersama teman dekat. Aku pun memilih truth, dan aku sudah bisa menebak pertanyaan apa yang terlontar dari mulut mereka. Benar saja, jika perempuan sudah berkumpul, topik tentang lawan jenis tak pernah luput dari obrolan. "Pilih si A atau B?" "Udah move on dari si C?" "Rencana nikah umur berapa?" dan berbagai pertanyaan sejenis lainnya. Padahal beberapa pertanyaan itu pun mereka sudah tahu jawabannya apa, seperti contoh pertanyaan terakhir. 

Sepertinya Dewi Fortuna tak berpihak padaku malam itu. Berulang kali aku menjadi sasaran. Hingga aku bingung harus memilih truth atau dare.

"Kalau pilih dare telepon gebetan sekarang," tantang Sifa.

"Gebetan yang mana?" tanyaku bercanda seolah budidaya gebetan padahal satu saja tak ada haha.

"Gilaa yang punya banyak gebetan," sahut yang lain.

"Truth aja deh kalo gitu," balasku pasrah.

Karena kami mulai bosan dengan permainan tersebut, malam itu seketika berubah menjadi sesi kelas percintaan. Membahas masa lalu, masa kini hingga masa depan. Satu persatu secara bergiliran bercerita tentang hal yang semua orang pasti pernah merasakannya. Yaitu cinta pertama, atau first love. Aku pun meminta Amel untuk bercerita duluan, dan ia pun tak keberatan. Ia bercerita tentang sosok kakak kelas yang pernah ia kagumi saat ia masih berada di bangku merah putih walau berakhir drama dan tragis. Memalukan sih kalau menurut dia.

"Ini nanti muter ya, habis ini Dinda," celetuk Hida. Lagi-lagi aku hanya bisa pasrah.

Selesai Amel bercerita, tibalah giliranku. Bagi sebagian orang cinta pertama selalu berakhir indah. Aku salut pada orang-orang yang masih memendam rasa pada cinta pertama selama bertahun-tahun lamanya. Tak sedikit, usaha mereka berakhir bahagia. Mereka bertemu lagi di suatu masa dan menjadi teman hidup selamanya. Awalnya aku mengira kisah yang seperti ini hanya ada di novel atau film saja. Ternyata tidak, beberapa orang mengalaminya secara nyata. Dan tentu saja, orang tersebut bukanlah aku. Kisah cinta monyetku menggelikan nan memalukan. Aku mulai mengagumi seseorang saat di bangku merah putih, sama seperti Amel. Bedanya aku mengagumi teman sekelasku. Entah apa sebabnya. Sepertinya karena ia cukup pintar. Tapi aku tak terlalu dekat dengannya. Istilahnya cinta dalam diam. Aku bukanlah sosok yang bisa terbuka, terutama soal perasaan. Aku hanya bisa memerhatikan dan mengaguminya dari jauh.

Biasanya cinta pertama adalah patah hati pertama, tapi untukku tidak. Patah hati pertamaku jatuh pada orang lain yang kukenal dari dunia maya. Aneh memang, menyukai orang asing yang tak pernah kutemui. Ia sebaya denganku namun tinggal di provinsi yang berbeda denganku. Tapi, patah hati pada cinta pertama tetaplah menjadi patah hati yang menyakitkan. Beberapa bulan setelah kelulusan SD kami saling mengontak lagi lewat jejaring sosial buatan Mark Zuckerberg yang kala itu sedang naik daun. Ia melanjutkan sekolah di luar kota. Dan ia mengatakan dengan bangga bahwa ia telah memiliki pacar di sana. Jika saat ini dipikir-pikir lagi menggelikan memang, seorang bocah terlibat dalam kasus percintaan. Permasalahan rumit orang dewasa. Tapi nyatanya aku tetap menangis dan patah hati saat membaca pesan darinya. Tak salah memang, karena toh aku hanya bisa menyimpan rasa diam-diam. Konsekuensi dari rasa yang disimpan diam-diam juga akan diam-diam menyakitkan. Seperti yang kualami kala itu.

Saat ini aku sudah bisa tersenyum dan tertawa geli ketika mengingat peristiwa itu. Sebuah kisah usang yang hinggap dalam memori. Tapi, kisah tentang cinta pertama memang selalu menarik untuk dikenang kan? Oh ya, aku punya sebuah lagu untuk kalian. Selamat mengenang cinta pertama.

Jurnal Alin . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates