Senin, 14 September 2020

Day 3 : A memory

(Baca: Challenge day 2)

sumber: google
ilustrasi bandara, sumber: google

    Hari ini aku kembali. Berniat memecahkan celengan rindu di tanah air. Di sini aku berpijak. Menelusuri setiap sudut penuh perubahan setelah 4 tahun kutinggalkan. Aku melangkah menyusuri ruangan demi ruangan, lorong demi lorong, teminal demi terminal. Seketika bayangan tentangmu terlintas di benakku. 5 tahun lalu, di terminal satu ini kita berpisah. Mengucap salam perpisahan penuh harap. Berharap takdir kan menemukan kita lagi di satu titik yang sama.

    Aku tak tahu, harus membenci atau mencintai ibu kota. Entah mengapa hampir setiap sudut Jakarta selalu tentangmu. Namun bandara ini, tempat istimewa bagiku. Kali kedua kita bertemu lagi juga berpisah lagi. Kamu apa kabar? Akankah kita kan bertemu kembali?

    Aku mematikan layar handphone setelah mengecek kembali jadwal tiket keberangkatanku menuju Surabaya. Masih 4 jam lagi, sementara semangkuk bakso dan teh botol di hadapanku sudah habis sejak setengah jam yang lalu. Tak mungkin aku berlama-lama di salah satu kedai yang berjajar di terminal satu ini hingga 3 jam lagi. Aku pun segera beranjak menuju kasir dan mencari tempat baru untukku menunggu. 

    "Bu, mie ayam satu es jeruk satu ya," ujar seorang lelaki yang baru datang ke kedai itu dan menyelaku saat hendak membayar makananku. 

    "Tadi saya pesan bakso satu teh botol satu, semuanya berapa Bu?" tanyaku pada kasir.

    "Totalnya 45 ribu Mbak." Aku pun menyerahkan selembar uang 50 ribu pada ibu kasir.

    "Permisi, Senja bukan?" tanya lelaki itu, ia memandangku setengah ragu. "Cahaya Kusuma Senja?"

    "Eh... i... iya, siapa ya?" aku mengernyitkan dahi.

    "Fajar. Fajar Pratama," ujarnya. Kau. Kenapa tiba-tiba kau hadir di hadapanku. Tuhan, pertanda apa ini?

    "Eh kok berubah sih, pangling tau," ujarku.

    "Iya ngegym, keren nggak sekarang? Eh duduk dulu yuk, temenin aku makan," ajaknya. Aku pun mengikutinya menuju salah satu meja yang tak jauh dari kasir.

    "Kamu apa kabar? Pulang nih ceritanya?" Ia membuka topik pembicaraan.

    "Baik, kamu sendiri gimana? Iya hehe, lagi kangen rumah," jawabku.

    "Kayak yang kamu lihat sekarang. Lebih baik daripada dulu. Menerapkan hidup sehat lah. Jerman gimana, kayaknya betah banget di sana sampe nggak pulang-pulang." Kami meneruskan pembicaraan hingga salah seorang pelayan mengantarkan mie ayam pesanan Fajar.

    "Masih suka mie ayam? Katanya hidup sehat?" tanyaku sekenanya.

    "Masih dong by the way inget aja aku suka mie ayam." Aku pun diam. Aku masih ingat semuanya Jar, nggak cuma makanan kesukaanmu. Kami pun membahas banyak hal. Cuaca, Jakarta, pekerjaan dia, kuliahku hingga nostalgia saat terakhir kali kami bertemu di terminal ini. Semua ini terasa seperti mimpi. Dengan mudahnya ia membangkitkan kenangan-kenangan di masa lalu yang bahkan hingga detik ini masih tak mampu kulupa.

    "Eh, flight-mu jam berapa? Sorry, sorry jadi ganggu waktumu," celetuk dia tiba-tiba.

    "Dua setengah jam lagi. Paling bentar lagi aku check-in," kataku.

    "Oh iya aku lupa mau bilang, kamu nggak penasaran nih kenapa aku ada di sini dan secara kebetulan ketemu kamu?"

    "Paling urusan kerjaan, mau ke luar kota kan?" tanyaku memastikan.

    "Bener sih mau ke luar kota. Tapi bukan urusan kerjaan. Nih...," dia  menyodorkan handphone-nya padaku.

    "Nikah?" Aku terkejut melihat desain undangan nikah yang ada di layar ponselnya.

    "Iya hehe, bulan depan. Ini lagi sibuk persiapan. Datang ya, Nja. Ntar aku kirimin undangan digitalnya ke kamu."

    "Insya Allah kalau nggak ada agenda lain ya. Eh, kayaknya aku udah harus pergi nih bentar lagi udah mau check-in. Thank you banget ya, Jar. Semoga lancar persiapannya sampe hari H. Salam buat keluarga." Aku pun pamit dan segera menarik koperku menjauh dari kedai itu. Pukul 15.40 pesawat yang kutumpangi segera lepas landas menuju kampung halamanku, Kota Pahlawan.

***

    Aku telah kembali ke tanah perantauan. Meninggalkan segala luka dan kenangan yang tercipta dengan sendirinya. Semesta memang selalu luar biasa dengan segala kejutan yang tak terduga. Dia, satu-satunya kenangan yang membuatku bersemangat untuk pulang ke kampung halaman. Dan kini, dia juga yang telah menambah satu daftar kenangan tentang ibu kota. Tentang dia, rasa yang tak sempat terucap. Namun semua telah berakhir. Dan ia, selamanya hanya akan menjadi memori yang terkenang.

Jurnal Alin . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates