Satu yang Tak Bisa Lepas
“Aku wanita yang sedang jatuh cinta.. ingin membawanya selalu kedalam
hidupku selamanya. Aku wanita yang sedang jatuh cinta.. kuharap dia merasa yang
aku rasa.” Aku bersenandung kecil sembari memasukkan beberapa buku
catatanku kedalam tas.
“Ciee
Rena.. yang lagi kasmaran. Udah move on ya? Sekarang sama siapa nih Ren?”
celetuk Shelly teman sebangkuku.
“Hahaha
apa sih Shel, aku cuma bernyanyi,” jawabku tersipu malu.
“Seorang
Rena tidak mungkin hanya sekedar bernyanyi. Pasti ada curhatnya,” ujar Shelly
yang tidak kugubris.
“Eh
Ren, aku punya kabar tentang dia!” seru Shelly.
“Aku
mengerti apa yang kau katakan Shel. Aku tidak peduli. Dia sudah menjadi masa
laluku,” ujarku sambil berlalu pergi.
Tapi tiba-tiba tepat di depan pintu ada
yang menghalangi jalanku. Wajah yang sedari tadi kutundukkan kebawah perlahan
kudongakkan. Yang sontak membuatku terkejut.
“Kau..
mau apa kau kesini?” uajrku sedikit gugup.
“Aku
hanya ingin melihatmu.”
“Lalu?”
jawabku dengan nada sedikit sinis.
“Tidak
ada.”
Aku melengos pergi
meninggalkan ia seorang diri di depan pintu kelasku. Dia, orang yang membuat
diriku mengambil keputusan untuk pergi darinya tapi kini ia datang kembali
tanpa permisi maupun tujuan yang jelas. Sejak saat itu, aku benar-benar telah
pergi darinya. Mungkin aku sudah lelah. Seperti kata Raisa yang apalah arti
menunggu. Lagipula, Tuhan telah menghadirkan sosok yang kurasa lebih baik
darinya. Seseorang, yang sedang dekat denganku sekarang.
Benar
saja, ketika aku baru tiba di rumah handphone
di sakuku bergetar. Aku tersenyum melihat layar kaca handphone. Ah, dia. Dengan spontan jemari ini bermain dengan keyboard dan menekan tombol send. Setelah itu seperti biasa, aku
melakukan aktivitas rutinku sepulang sekolah. Mengganti seragam, makan siang,
dan beristirahat sejenak sebelum akhirnya harus kembali mengerjakan tugas-tugas
dari sekolah. Siang itu adalah siang terindah pertama yang pernah kurasakan.
Bagaimana tidak, ada seseorang yang dapat membuatku tersenyum dan tertawa
kembali. Diriku bak dibawa terbang melintasi awan seputih kapas yang indah dan
dibawa menuju surga.
Tuhan
mempertemukan diriku dengannya di sebuah acara yang beberapa hari lalu kuikuti.
Pertemuan yang tidak jauh-jauh dari hobi dan passionku. Sejak saat itu, aku mulai sering berkomunikasi
dengannya. Ia setahun lebih tua diatasku. Dan aku lebih nyaman memanggilnya
dengan nama ‘kakak’.
***
Aku tak tahu ini sebuah rasa yang nyata atau
sesaat saja. Tapi hati ini tak dapat dipungkiri. Dan aku tak tahu apakah ia
tulus atau hanya modus semata. Hanya jaga perasaan saja. Karena sejujurnya aku
lelah dengan menjaga perasaan. Aku tak pandai berbohong dengan rasa. Sangat
menyakitkan, seperti harus menutupi kebahagiaan yang seharusnya ditampakkan.
Aku tak bisa melakukannya, dan aku selalu gagal dalam hal itu. Tapi aku yakin,
benih itu benar-benar tumbuh. Akankah ia bertahan hingga menjadi tunas? Akankah
aku berhasil menumbuhkan benih hingga tumbuh besar? Atau akankah aku mengalami
hal yang sama? Aku... aku tak ingin menyakiti atau pun disakiti lagi. Kumohon.
Sebelumnya, terimakasih atas semua perhatian dan panggilan yang terdengar
seperti kucing itu walau ku tak tahu apakah itu benar adanya.
Aku
menekan tombol save pada memo di handphoneku. Ya, aku suka sekali menulis
apa yang sedang kurasa dan terkadang quotes
di memo HP. Kutengok jam dinding yang berada di sebelah kanan. Jarum jam telah
menunjukkan pukul 21.30 WIB, sudah waktunya untuk terlelap dan terbawa alam
mimpi. Kuharap, aku dapat memimpikannya.
***
Pagi
kembali datang menyapaku. Hembusan angin dan aroma embun pagi menambah
semangatku di pagi hari. Kusunggingkan sebuah senyuman indah pada alam, sebagai
rasa syukur masih dapat menikmati keindahan pagi dan agar alam mengerti bahwa
aku bahagia.
“Duh
Rena, pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri,” celetuk Zia saat melewati
bangkuku.
“Kenapa
Ren? Dapet ucapan selamat pagi dari si kakak?” lanjutnya.
“Haha,
kepo banget deh. Pengen diucapin juga? Selamat pagi Zia,” jawabku dengan nada
sedikit sok manis yang diikuti dengan cibiran dari Zia. Begitulah
teman-temanku, berita sekecil apapun pasti akan menyebar dengan cepat, mau
ditutupi dengan cara apapun tak akan berguna. Ya, toh cepat atau lambat mereka
akan tahu.
Siang itu menjelang
sepulang sekolah, adalah surga dunia bagi para siswa. Tidak lain tidak bukan
ialah jam kosong. Bagi cewek kelas 2 SMA waktu tersebut sudah pasti digunakan
untuk berkumpul bersama teman satu gengnya membahas apapun yang bisa dibahas.
“Cari
pacar baru lagi aja lah, seru mungkin,” celetuk Zia.
“Hmm
pacar, pacar itu apa? Hidup tuh jangan melulu tentang pacar,” sahut Vita.
“Nah
bener tuh. Eh btw, pacarku juga ngilang,” sahutku tiba-tiba.
“Ha?
Pacar? Kamu udah pacaran? Peje!” seru Shelly yang diikuti suara tuduhan
lainnya.
“Enggak,
enggak. Aku cuma bercanda kali, seriusan,” jawabku.
“Bohong.
Pasti sama si temen baru itu kan?” Shelly semakin menyudutkanku.
“Serius,
ngapain aku bohong. Kami cuma teman. Ya, macam kakak kelas dengan adik kelas.
Teman,” aku membulatkan mata dan menampakkan barisan gigi agar mereka percaya.
Malam
itu, tepat di hari itu juga setelah aku tak iseng berkata seperti itu pada
teman-temanku, adalah malam terindah dalam hidup setelah beberapa tahun
lamanya. Menjadi salah satu hari yang terindah dalam hidupku. Dengan segenap
hati, sepertinya aku siap untuk membuka hatiku kembali. Membuka hati untuknya,
walau kami harus terhalang oleh jarak. Satu alasan mengapa aku membuka hatiku
kembali setelah merasakan sakit yang begitu dalam, karena aku menyayanginya
dengan tulus.
***
Ini
menjelang bulan ketigaku bersamanya. Menjalani sebuah hubungan jarak jauh
memang tak mudah, tapi aku yakin kami bisa. Hingga suatu saat, ia mulai
berubah. Ia beda. Bukan seperti kakak yang pernah kukenal. Diabaikan menjadi
sudah biasa bagiku. Sempat terlintas dibenakku bahwa rasa itu telah kadaluarsa.
Kucoba meyakinkan diri untuk tidak berpikiran negatif dan berusaha apa yang aku
bisa lakukan. Karena kuingat, dia pernah berkata pada malam itu, untuk saling
percaya.
Liburan sekolah,
menjadi hal yang paling dinanti. Yang awalnya kuharap dapat bertemu dengannya
sebagai bentuk melepas rindu yang sudah tertahan harus sirna karena aku
memiliki janji untuk bertemu dengan teman dunia mayaku. Hal itu malah membuat
dirinya semakin tampak samar di hidupku. Ini lebih dari sekedar rasa rindu. Tak
terhitung berapa kali butiran kristal itu pecah dan mengalir di pipiku. Sudah
beberapa hari duniaku kelabu tanpa pelangi di hidupku. “Kamu kuat kok Ren, kamu
jauh lebih kuat daripada aku,” begitulah kata teman-temanku. Namun,
sekuat-kuatnya seorang Rena, pasti akan rapuh juga. Aku pun memutar playlist
yang kurasa dapat menenangkan jiwaku, dan mulai memainkan jemari diatas keyboard merangkai kata demi kata.
Apakah
ini yang namanya rindu? Tak dapat dijamah tapi begitu dalam dirasakan. Yang
selalu datang bersama sahabatnya, air mata. Aku rindu, lebih dari rasa rindu
yang telah lalu. Aku rindu suaranya, wajahnya, bahkan tawanya. Aku merindukan
ia ada di hidupku. Ia masih ada, ada di hati ini, tapi ia samar. Ia tampak
seperti selalu bersembunyi. Membaca percakapan yang telah lalu memang sejenak
menenangkanku tapi tak sadar butiran kristal itu ikut mengalir membasahi kedua
pipi. Ikut serta beberapa kenangan tentangnya yang semakin menambah deras aliran
di pipi. Semua memang mulai terasa beda. Dan aku merindukan segalanya...
***
“Masih
tak ada balasan?” tanya Zia di chat.
“Tentu
saja tidak,” balasku.
“Duh,
aku kok gemes ya.”
“Hahaha
santai aja kali. Udah biasa kok.”
“Ren,
aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja lho. Masih mau tetep bertahan?”
“Ya,
aku bisa kok. Bertahan 2 tahun saja bisa masa untuk begini saja aku nyerah,”
jawabku mantap.
“Aku
dukung keputusanmu aja. Kudoain yang terbaik juga buat kamu. Semangat ya,” ujar
Zia.
“Makasih
Ziaku sayang. Hahaha.” Percakapanku pun berakhir. Entah sudah berapa anak
manusia bertanya hal yang sama padaku. Membuatku lebih sering untuk menghela
nafas panjang. “Masih sama?” “Masih nggak ada balesan?” “Belum ada konfirmasi?”
“Sabar ya Ren, kamu kuat kok” “Aku perlu bantu apa?” “Duh aku gemes deh” “Kok
kamu bisa sekuat ini sih” “Kalo aku milih untuk berakhir”. Begitulah kalimat
yang akhir-akhir ini sering kudengar. Terkadang aku merasa mual mendengarnya.
Sudahlah, tak usah dipikirkan ya meskipun rasa sakit itu ada.
Hingga
suatu malam, entah mengapa diri ini menjadi lemah dan berada di titik terbawah.
Aku harus membereskan hal yang perlu dibereskan. Menyelesaikan semuanya.
***
“Sudah
selesai?” begitulah tanya mereka keesokan harinya.
“Sudah.”
“Terus
gimana?”
“Ya
nggak gimana-gimana kali. Menyelesaikan tidak harus selalu tentang mengakhiri.
Biarkan aku berusaha dulu sekuat yang aku bisa. Biarkan aku merubah rasa
sekedar penasaran yang ada padanya menjadi sebuah rasa sayang.”
“Jadi?
Masih bertahan?”
“Ya
kira-kira begitulah sampai Tuhan bilang padaku sudah waktunya menyerah,”
jawabku ringan.
“Kasih aku alasan apa
yang bisa bikin kamu kuat!” seru Zia.
“Cukup
satu alasan. Aku menyayanginya.”
“Duh, baru kali ini aku
nemu cewek keras kepala sampai senekat ini.”
“Hahaha,
lagipula aku sudah terlanjur punya satu misi,” ujarku penuh misteri.
“Apa?”
tanya Hilda penasaran.
“Rahasia.”
“Satu yang tak bisa lepas, percayalah hanya
kau yang mampu mencuri hatiku, aku pun tak mengerti. Satu yang tak bisa lepas,
bawalah kembali jiwa yang luka dan perasaan yang lemah ini menyentuh sendiriku.”
Aku kembali bersenandung kecil sembari tersenyum penuh rasa syukur. Kudengar
Shelly kembali menggerutu mendengar senandungku yang mengandung 99% curhat 1%
menyanyi.
Ya,
tak peduli akan seberat apa rintangan yang harus kuhadapi kedepannya, aku akan
tetap bertahan hingga Tuhan berbisik padaku untuk menyerah. Karena kau adalah satu alasan yang membuatku
tak bisa lepas, kak.
1 Komentar:
Keren Alinnn. 10 Jempol (8nya pinjem temanku) buat kamu...
REPLY