Senin, 04 Januari 2016

Aku wanita yang sedang jatuh cinta.. ingin membawanya selalu kedalam hidupku selamanya. Aku wanita yang sedang jatuh cinta.. kuharap dia merasa yang aku rasa.” Aku bersenandung kecil sembari memasukkan beberapa buku catatanku kedalam tas.
            “Ciee Rena.. yang lagi kasmaran. Udah move on ya? Sekarang sama siapa nih Ren?” celetuk Shelly teman sebangkuku.
            “Hahaha apa sih Shel, aku cuma bernyanyi,” jawabku tersipu malu.
            “Seorang Rena tidak mungkin hanya sekedar bernyanyi. Pasti ada curhatnya,” ujar Shelly yang tidak kugubris.
            “Eh Ren, aku punya kabar tentang dia!” seru Shelly.
            “Aku mengerti apa yang kau katakan Shel. Aku tidak peduli. Dia sudah menjadi masa laluku,” ujarku sambil berlalu pergi.
Tapi tiba-tiba tepat di depan pintu ada yang menghalangi jalanku. Wajah yang sedari tadi kutundukkan kebawah perlahan kudongakkan. Yang sontak membuatku terkejut.
            “Kau.. mau apa kau kesini?” uajrku sedikit gugup.
            “Aku hanya ingin melihatmu.”
            “Lalu?” jawabku dengan nada sedikit sinis.
            “Tidak ada.”
Aku melengos pergi meninggalkan ia seorang diri di depan pintu kelasku. Dia, orang yang membuat diriku mengambil keputusan untuk pergi darinya tapi kini ia datang kembali tanpa permisi maupun tujuan yang jelas. Sejak saat itu, aku benar-benar telah pergi darinya. Mungkin aku sudah lelah. Seperti kata Raisa yang apalah arti menunggu. Lagipula, Tuhan telah menghadirkan sosok yang kurasa lebih baik darinya. Seseorang, yang sedang dekat denganku sekarang.
***
            Benar saja, ketika aku baru tiba di rumah handphone di sakuku bergetar. Aku tersenyum melihat layar kaca handphone. Ah, dia. Dengan spontan jemari ini bermain dengan keyboard dan menekan tombol send. Setelah itu seperti biasa, aku melakukan aktivitas rutinku sepulang sekolah. Mengganti seragam, makan siang, dan beristirahat sejenak sebelum akhirnya harus kembali mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Siang itu adalah siang terindah pertama yang pernah kurasakan. Bagaimana tidak, ada seseorang yang dapat membuatku tersenyum dan tertawa kembali. Diriku bak dibawa terbang melintasi awan seputih kapas yang indah dan dibawa menuju surga.
            Tuhan mempertemukan diriku dengannya di sebuah acara yang beberapa hari lalu kuikuti. Pertemuan yang tidak jauh-jauh dari hobi dan passionku. Sejak saat itu, aku mulai sering berkomunikasi dengannya. Ia setahun lebih tua diatasku. Dan aku lebih nyaman memanggilnya dengan nama ‘kakak’.
***
            Aku tak tahu ini sebuah rasa yang nyata atau sesaat saja. Tapi hati ini tak dapat dipungkiri. Dan aku tak tahu apakah ia tulus atau hanya modus semata. Hanya jaga perasaan saja. Karena sejujurnya aku lelah dengan menjaga perasaan. Aku tak pandai berbohong dengan rasa. Sangat menyakitkan, seperti harus menutupi kebahagiaan yang seharusnya ditampakkan. Aku tak bisa melakukannya, dan aku selalu gagal dalam hal itu. Tapi aku yakin, benih itu benar-benar tumbuh. Akankah ia bertahan hingga menjadi tunas? Akankah aku berhasil menumbuhkan benih hingga tumbuh besar? Atau akankah aku mengalami hal yang sama? Aku... aku tak ingin menyakiti atau pun disakiti lagi. Kumohon. Sebelumnya, terimakasih atas semua perhatian dan panggilan yang terdengar seperti kucing itu walau ku tak tahu apakah itu benar adanya.
            Aku menekan tombol save pada memo di handphoneku. Ya, aku suka sekali menulis apa yang sedang kurasa dan terkadang quotes di memo HP. Kutengok jam dinding yang berada di sebelah kanan. Jarum jam telah menunjukkan pukul 21.30 WIB, sudah waktunya untuk terlelap dan terbawa alam mimpi. Kuharap, aku dapat memimpikannya.
***
            Pagi kembali datang menyapaku. Hembusan angin dan aroma embun pagi menambah semangatku di pagi hari. Kusunggingkan sebuah senyuman indah pada alam, sebagai rasa syukur masih dapat menikmati keindahan pagi dan agar alam mengerti bahwa aku bahagia.
            “Duh Rena, pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri,” celetuk Zia saat melewati bangkuku.
            “Kenapa Ren? Dapet ucapan selamat pagi dari si kakak?” lanjutnya.
            “Haha, kepo banget deh. Pengen diucapin juga? Selamat pagi Zia,” jawabku dengan nada sedikit sok manis yang diikuti dengan cibiran dari Zia. Begitulah teman-temanku, berita sekecil apapun pasti akan menyebar dengan cepat, mau ditutupi dengan cara apapun tak akan berguna. Ya, toh cepat atau lambat mereka akan tahu.
Siang itu menjelang sepulang sekolah, adalah surga dunia bagi para siswa. Tidak lain tidak bukan ialah jam kosong. Bagi cewek kelas 2 SMA waktu tersebut sudah pasti digunakan untuk berkumpul bersama teman satu gengnya membahas apapun yang bisa dibahas.
            “Cari pacar baru lagi aja lah, seru mungkin,” celetuk Zia.
            “Hmm pacar, pacar itu apa? Hidup tuh jangan melulu tentang pacar,” sahut Vita.
            “Nah bener tuh. Eh btw, pacarku juga ngilang,” sahutku tiba-tiba.
            “Ha? Pacar? Kamu udah pacaran? Peje!” seru Shelly yang diikuti suara tuduhan lainnya.
            “Enggak, enggak. Aku cuma bercanda kali, seriusan,” jawabku.
            “Bohong. Pasti sama si temen baru itu kan?” Shelly semakin menyudutkanku.
            “Serius, ngapain aku bohong. Kami cuma teman. Ya, macam kakak kelas dengan adik kelas. Teman,” aku membulatkan mata dan menampakkan barisan gigi agar mereka percaya.
            Malam itu, tepat di hari itu juga setelah aku tak iseng berkata seperti itu pada teman-temanku, adalah malam terindah dalam hidup setelah beberapa tahun lamanya. Menjadi salah satu hari yang terindah dalam hidupku. Dengan segenap hati, sepertinya aku siap untuk membuka hatiku kembali. Membuka hati untuknya, walau kami harus terhalang oleh jarak. Satu alasan mengapa aku membuka hatiku kembali setelah merasakan sakit yang begitu dalam, karena aku menyayanginya dengan tulus.
***
            Ini menjelang bulan ketigaku bersamanya. Menjalani sebuah hubungan jarak jauh memang tak mudah, tapi aku yakin kami bisa. Hingga suatu saat, ia mulai berubah. Ia beda. Bukan seperti kakak yang pernah kukenal. Diabaikan menjadi sudah biasa bagiku. Sempat terlintas dibenakku bahwa rasa itu telah kadaluarsa. Kucoba meyakinkan diri untuk tidak berpikiran negatif dan berusaha apa yang aku bisa lakukan. Karena kuingat, dia pernah berkata pada malam itu, untuk saling percaya.
Liburan sekolah, menjadi hal yang paling dinanti. Yang awalnya kuharap dapat bertemu dengannya sebagai bentuk melepas rindu yang sudah tertahan harus sirna karena aku memiliki janji untuk bertemu dengan teman dunia mayaku. Hal itu malah membuat dirinya semakin tampak samar di hidupku. Ini lebih dari sekedar rasa rindu. Tak terhitung berapa kali butiran kristal itu pecah dan mengalir di pipiku. Sudah beberapa hari duniaku kelabu tanpa pelangi di hidupku. “Kamu kuat kok Ren, kamu jauh lebih kuat daripada aku,” begitulah kata teman-temanku. Namun, sekuat-kuatnya seorang Rena, pasti akan rapuh juga. Aku pun memutar playlist yang kurasa dapat menenangkan jiwaku, dan mulai memainkan jemari diatas keyboard merangkai kata demi kata.
Apakah ini yang namanya rindu? Tak dapat dijamah tapi begitu dalam dirasakan. Yang selalu datang bersama sahabatnya, air mata. Aku rindu, lebih dari rasa rindu yang telah lalu. Aku rindu suaranya, wajahnya, bahkan tawanya. Aku merindukan ia ada di hidupku. Ia masih ada, ada di hati ini, tapi ia samar. Ia tampak seperti selalu bersembunyi. Membaca percakapan yang telah lalu memang sejenak menenangkanku tapi tak sadar butiran kristal itu ikut mengalir membasahi kedua pipi. Ikut serta beberapa kenangan tentangnya yang semakin menambah deras aliran di pipi. Semua memang mulai terasa beda. Dan aku merindukan segalanya...
***
            “Masih tak ada balasan?” tanya Zia di chat.
            “Tentu saja tidak,” balasku.
            “Duh, aku kok gemes ya.”
            “Hahaha santai aja kali. Udah biasa kok.”
            “Ren, aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja lho. Masih mau tetep bertahan?”
            “Ya, aku bisa kok. Bertahan 2 tahun saja bisa masa untuk begini saja aku nyerah,” jawabku mantap.
            “Aku dukung keputusanmu aja. Kudoain yang terbaik juga buat kamu. Semangat ya,” ujar Zia.
            “Makasih Ziaku sayang. Hahaha.” Percakapanku pun berakhir. Entah sudah berapa anak manusia bertanya hal yang sama padaku. Membuatku lebih sering untuk menghela nafas panjang. “Masih sama?” “Masih nggak ada balesan?” “Belum ada konfirmasi?” “Sabar ya Ren, kamu kuat kok” “Aku perlu bantu apa?” “Duh aku gemes deh” “Kok kamu bisa sekuat ini sih” “Kalo aku milih untuk berakhir”. Begitulah kalimat yang akhir-akhir ini sering kudengar. Terkadang aku merasa mual mendengarnya. Sudahlah, tak usah dipikirkan ya meskipun rasa sakit itu ada.
            Hingga suatu malam, entah mengapa diri ini menjadi lemah dan berada di titik terbawah. Aku harus membereskan hal yang perlu dibereskan. Menyelesaikan semuanya.
***
            “Sudah selesai?” begitulah tanya mereka keesokan harinya.
            “Sudah.”
            “Terus gimana?”
            “Ya nggak gimana-gimana kali. Menyelesaikan tidak harus selalu tentang mengakhiri. Biarkan aku berusaha dulu sekuat yang aku bisa. Biarkan aku merubah rasa sekedar penasaran yang ada padanya menjadi sebuah rasa sayang.”
            “Jadi? Masih bertahan?”
            “Ya kira-kira begitulah sampai Tuhan bilang padaku sudah waktunya menyerah,” jawabku ringan.
“Kasih aku alasan apa yang bisa bikin kamu kuat!” seru Zia.
            “Cukup satu alasan. Aku menyayanginya.”
“Duh, baru kali ini aku nemu cewek keras kepala sampai senekat ini.”
            “Hahaha, lagipula aku sudah terlanjur punya satu misi,” ujarku penuh misteri.
            “Apa?” tanya Hilda penasaran.
            “Rahasia.”
            “Satu yang tak bisa lepas, percayalah hanya kau yang mampu mencuri hatiku, aku pun tak mengerti. Satu yang tak bisa lepas, bawalah kembali jiwa yang luka dan perasaan yang lemah ini menyentuh sendiriku.” Aku kembali bersenandung kecil sembari tersenyum penuh rasa syukur. Kudengar Shelly kembali menggerutu mendengar senandungku yang mengandung 99% curhat 1% menyanyi.
            Ya, tak peduli akan seberat apa rintangan yang harus kuhadapi kedepannya, aku akan tetap bertahan hingga Tuhan berbisik padaku untuk menyerah. Karena kau adalah satu alasan yang membuatku tak bisa lepas, kak.

1 Komentar:

Keren Alinnn. 10 Jempol (8nya pinjem temanku) buat kamu...

REPLY

Jurnal Alin . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates