Minggu, 17 Mei 2015

Dia membekap mulutku, menatap wajahku dalam-dalam. Sontak, aku pun menatapnya. Menatap matanya lekat-lekat. Argh, aku sadar, aku tak boleh menatap matanya lekat-lekat. Aku sudah berjanji tak ingin kejadian itu terulang lagi. Sontak, aku mendorongnya pelan untuk melepaskan bekapannya.
            “Hei, aku nyaris saja terjengkang,” omelnya.
            “Sorry,” jawabku ketus. Tak sedikit pun menatap kepadanya. Aku segera menarik tangan Irin yang ada di sampingku untuk beranjak pergi menuju kelasku.
            Aku mengentakkan kaki ketika masuk kedalam kelas.
            “Ciee, bentar lagi ada yang CLBK nih yee,” goda Irin.
            “CLBK? Maksudmu cinta lama bersemi kembali?” aku menatap Irin tajam.
            “Yaa begitulah.”
            “Sorry ya. Gak ada yang namanya cinta lama bersemi kembali. Yang ada malah luka lama terulang kembali!” seruku.
            “Ups, kayaknya api amarah sedang mendidih nih. Sorry deh Sof,” ujar Irin lirih. Aku tak menghiraukannya. Pikiranku masih meracau. Ini semua tak boleh terjadi lagi. Tak akan!
***
            Jam tangan mungil berwarna jingga yang melekat di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 14.00. Sudah waktunya pulang. Di luar, masih ada sisa gerimis kecil. Semerbak harum bau tanah yang dihasilkan oleh bakteri Actinomycetes masih terasa. Ugh, kenapa harus hujan sih? Batinku.
            “Sof pulang yuk, mumpung terang,” ajak Irin.
            “Sekarang?”
            “Iya, ayo buruan,” Irin menarik lenganku berlari kecil menghindari rintik hujan yang masih saja turun.
            “Rin, Sof, pulang bareng aku aja. Rumah kita kan searah,” ajak seorang cowok dari dalam mobil sedan silver-nya. Aku memicingkan mata agar bisa melihat jelas siapa sosok cowok itu. Karena hujan, aku melipat kacamataku dan menyimpannya dalam tas saja daripada terkena tetesan air hujan pandangan jadi blur.
            “Beneran nih, nggak keberatan Stef?” tanya Irin. Stef? Stefan? Ah tidak, aku tak mau. Aku langsung mencubit lengan Irin pertanda tak setuju.
            “Enggak usah Stef, kita berdua mau ke mall dulu,” tolakku.
            “Oh tak apa. Aku bisa mengantarkan kalian berdua setelah itu aku pulang.”
            “Enggak usah. Kita berdua naik taksi aja. Tuh taksinya udah datang. Taksi! Taksi!” aku segera menarik lengan Irin untuk masuk ke dalam taksi. Meninggalkan Stefan begitu saja.
***
            Kami telah sampai di sebuah mall langganan kami. Aku mengentakkan kaki menaiki escalator untuk menuju foodcourt. Kesal dan amarahku tadi membuat perutku keroncongan. Aku segera memesan lasagna dan mango float. Tak tanggung-tanggung aku juga memesan kentang goreng keju.
            “Kau ini, kalau kau tak bisa pelajaran ekonomi seenggaknya kamu ngerti dikit dong. Lumayan Sof. Kita jadi lebih irit dengan menumpang mobil Stefan tadi. Kita bisa belanja atau makan-makan yang banyak,” celoteh Irin.
            “No Rin! Sekali enggak-enggak!” bantahku.
            “Okelah Sof, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu.”
            “Apa?” jawabku ketus.
            “Tapi please, kau jawab jujur. Kau masih belum bisa move on dari Stefan kan? Lantas kenapa kau membenci Stefan?”. Seketika dadaku langsung berdesir mendengar pertanyaan itu. Aku menghela nafas panjang.
            “Oke aku jujur. Iya, aku memang masih belum bisa move on dari Stefan. Mungkin caraku utuk move on dengan membenci Stefan memang salah. Tapi aku tak punya pilihan lain Rin,” jawabku berusaha kuat.
            “Seandainya Stefan benar-benar menyayangimu, apa kau mau memberinya kesempatan kedua?”
            “Aku tak tahu Rin. Aku sudah cukup sabar dan dan Cuma bisa memendam kekesalanku. Aku capek. Kau ingat setahun lalu saat ia dekat dengan Rea anak X-C. Ia merasa tak bersalah..”
            “Hmm… aku tahu perasaanmu. Kau pasti sakit hati kan melihat Stefan duduk berdua di bangku taman. Tapi kata Stefan, mereka berdua sedang belajar matematika,” potong Irin.
            “Mana ada cowok yang punya hati sesuci air wudhu Rin. Mungkin hanya 1% dari jutaan orang di bumi ini. Bisa saja itu hanya alasannya Stefan. Sudahlah Rin, aku tak ingin membahas Stefan dan Rea,” ucapku putus asa.
            “Kau munafik sama perasaanmu sendiri Sof. Kalau kau memang menganggapnya cowok tak baik kenapa kau tak bisa move on darinya?”
            “Karena…,” argh,  tangisku tak bisa terbendung lagi. Pertanyaan itu membuat pikiranku menuju masa-masa indah itu. Saat kasih sayang itu masih ada. Tapi kini itu semua telah sirna. Tak akan ada lagi perhatian dan kasih sayang darinya.
            “Karena aku memang tak bisa move on. Kejadian aku putus dengan Stefan lima bulan lalu karena Lyssa. Lyssa mengambil Stefan dariku. Ia selalu mengomporiku saat aku lewat depan kelasnya. Stefan mengatakan aku dan dia juga udah gak sejalan lagi. Aku ikhlaskan Stefan untuk Lyssa. Tapi nyatanya, seminggu setelah aku putus, Lyssa meninggalkan Stefan begitu saja. Aku tak terima perasaanku dipermainkan seperti ini,” celotehku.
            “Lalu apa kau mau menerimaku kembali?” ujar sebuah suara yang mengagetkanku. Hah? Stefan? Aku langsung menghapus air mataku dan bersikap biasa saja.
            “Please jawab Sof,” ujar Stefan memelas. Aku menghela nafas panjang. Mencoba kuat untuk mengatakannya.
            “Maafkan aku Stef,” jawabku lirih.
            “Kenapa Sof? Bukankah kau mengatakan sendiri tadi bahwa kau masih menyayangiku?”
            “Maafkan aku Stef, aku memang masih menyayangimu. Tapi apa kau masih mengingat mimpi besarku itu? Saat ini aku ingin konsen untuk menggapai mimpiku itu. Aku benar-benar ingin menjadi dosen sastra Jepang. Aku harap kau mengerti.” Stefan lebih mendekat padaku.
            “Baiklah jika itu keinginanmu. Aku akan pergi. Aku berdoa agar impianmu itu menjadi nyata. Aku disini masih setia untuk menunggumu,” bisik Stefan.

Aku hanya diam tak bergeming. Aku juga masih menunggu Stef, menunggu waktu yang tepat untuk menerimamu kembali. Aku tak ingin terluka karena cinta lagi.

Jurnal Alin . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates