Masih Menunggu
Dia membekap
mulutku, menatap wajahku dalam-dalam. Sontak, aku pun menatapnya. Menatap
matanya lekat-lekat. Argh, aku sadar, aku tak boleh menatap matanya
lekat-lekat. Aku sudah berjanji tak ingin kejadian itu terulang lagi. Sontak,
aku mendorongnya pelan untuk melepaskan bekapannya.
“Hei,
aku nyaris saja terjengkang,” omelnya.
“Sorry,”
jawabku ketus. Tak sedikit pun menatap kepadanya. Aku segera menarik tangan
Irin yang ada di sampingku untuk beranjak pergi menuju kelasku.
Aku
mengentakkan kaki ketika masuk kedalam kelas.
“Ciee,
bentar lagi ada yang CLBK nih yee,” goda Irin.
“CLBK?
Maksudmu cinta lama bersemi kembali?” aku menatap Irin tajam.
“Yaa
begitulah.”
“Sorry
ya. Gak ada yang namanya cinta lama bersemi kembali. Yang ada malah luka lama
terulang kembali!” seruku.
“Ups,
kayaknya api amarah sedang mendidih nih. Sorry deh Sof,” ujar Irin lirih. Aku
tak menghiraukannya. Pikiranku masih meracau. Ini semua tak boleh terjadi lagi.
Tak akan!
Jam
tangan mungil berwarna jingga yang melekat di pergelangan tanganku menunjukkan
pukul 14.00. Sudah waktunya pulang. Di luar, masih ada sisa gerimis kecil.
Semerbak harum bau tanah yang dihasilkan oleh bakteri Actinomycetes masih terasa. Ugh, kenapa harus hujan sih? Batinku.
“Sof
pulang yuk, mumpung terang,” ajak Irin.
“Sekarang?”
“Iya,
ayo buruan,” Irin menarik lenganku berlari kecil menghindari rintik hujan yang
masih saja turun.
“Rin,
Sof, pulang bareng aku aja. Rumah kita kan searah,” ajak seorang cowok dari
dalam mobil sedan silver-nya. Aku memicingkan mata agar bisa melihat jelas
siapa sosok cowok itu. Karena hujan, aku melipat kacamataku dan menyimpannya
dalam tas saja daripada terkena tetesan air hujan pandangan jadi blur.
“Beneran
nih, nggak keberatan Stef?” tanya Irin. Stef? Stefan? Ah tidak, aku tak mau.
Aku langsung mencubit lengan Irin pertanda tak setuju.
“Enggak
usah Stef, kita berdua mau ke mall dulu,” tolakku.
“Oh
tak apa. Aku bisa mengantarkan kalian berdua setelah itu aku pulang.”
“Enggak
usah. Kita berdua naik taksi aja. Tuh taksinya udah datang. Taksi! Taksi!” aku
segera menarik lengan Irin untuk masuk ke dalam taksi. Meninggalkan Stefan
begitu saja.
***
Kami
telah sampai di sebuah mall langganan kami. Aku mengentakkan kaki menaiki
escalator untuk menuju foodcourt. Kesal dan amarahku tadi membuat perutku
keroncongan. Aku segera memesan lasagna dan mango float. Tak tanggung-tanggung
aku juga memesan kentang goreng keju.
“Kau
ini, kalau kau tak bisa pelajaran ekonomi seenggaknya kamu ngerti dikit dong.
Lumayan Sof. Kita jadi lebih irit dengan menumpang mobil Stefan tadi. Kita bisa
belanja atau makan-makan yang banyak,” celoteh Irin.
“No
Rin! Sekali enggak-enggak!” bantahku.
“Okelah
Sof, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu.”
“Apa?”
jawabku ketus.
“Tapi
please, kau jawab jujur. Kau masih belum bisa move on dari Stefan kan? Lantas
kenapa kau membenci Stefan?”. Seketika dadaku langsung berdesir mendengar
pertanyaan itu. Aku menghela nafas panjang.
“Oke
aku jujur. Iya, aku memang masih belum bisa move on dari Stefan. Mungkin caraku
utuk move on dengan membenci Stefan memang salah. Tapi aku tak punya pilihan
lain Rin,” jawabku berusaha kuat.
“Seandainya
Stefan benar-benar menyayangimu, apa kau mau memberinya kesempatan kedua?”
“Aku
tak tahu Rin. Aku sudah cukup sabar dan dan Cuma bisa memendam kekesalanku. Aku
capek. Kau ingat setahun lalu saat ia dekat dengan Rea anak X-C. Ia merasa tak
bersalah..”
“Hmm…
aku tahu perasaanmu. Kau pasti sakit hati kan melihat Stefan duduk berdua di
bangku taman. Tapi kata Stefan, mereka berdua sedang belajar matematika,”
potong Irin.
“Mana
ada cowok yang punya hati sesuci air wudhu Rin. Mungkin hanya 1% dari jutaan
orang di bumi ini. Bisa saja itu hanya alasannya Stefan. Sudahlah Rin, aku tak
ingin membahas Stefan dan Rea,” ucapku putus asa.
“Kau
munafik sama perasaanmu sendiri Sof. Kalau kau memang menganggapnya cowok tak
baik kenapa kau tak bisa move on darinya?”
“Karena…,”
argh, tangisku tak bisa terbendung lagi.
Pertanyaan itu membuat pikiranku menuju masa-masa indah itu. Saat kasih sayang
itu masih ada. Tapi kini itu semua telah sirna. Tak akan ada lagi perhatian dan
kasih sayang darinya.
“Karena
aku memang tak bisa move on. Kejadian aku putus dengan Stefan lima bulan lalu
karena Lyssa. Lyssa mengambil Stefan dariku. Ia selalu mengomporiku saat aku
lewat depan kelasnya. Stefan mengatakan aku dan dia juga udah gak sejalan lagi.
Aku ikhlaskan Stefan untuk Lyssa. Tapi nyatanya, seminggu setelah aku putus,
Lyssa meninggalkan Stefan begitu saja. Aku tak terima perasaanku dipermainkan
seperti ini,” celotehku.
“Lalu
apa kau mau menerimaku kembali?” ujar sebuah suara yang mengagetkanku. Hah?
Stefan? Aku langsung menghapus air mataku dan bersikap biasa saja.
“Please
jawab Sof,” ujar Stefan memelas. Aku menghela nafas panjang. Mencoba kuat untuk
mengatakannya.
“Maafkan
aku Stef,” jawabku lirih.
“Kenapa
Sof? Bukankah kau mengatakan sendiri tadi bahwa kau masih menyayangiku?”
“Maafkan
aku Stef, aku memang masih menyayangimu. Tapi apa kau masih mengingat mimpi
besarku itu? Saat ini aku ingin konsen untuk menggapai mimpiku itu. Aku
benar-benar ingin menjadi dosen sastra Jepang. Aku harap kau mengerti.” Stefan
lebih mendekat padaku.
“Baiklah
jika itu keinginanmu. Aku akan pergi. Aku berdoa agar impianmu itu menjadi
nyata. Aku disini masih setia untuk menunggumu,” bisik Stefan.
Aku hanya diam tak bergeming. Aku juga masih menunggu Stef, menunggu waktu
yang tepat untuk menerimamu kembali. Aku tak ingin terluka karena cinta lagi.